20 Mei 2009

Sometimes in May…

Berbulan-bulan saya meninggalkan tradisi untuk menulis catatan harian yang sebenarnya sudah menjadi commitment untuk secara rutin saya lakukan. Salah satu penyebabnya adalah karena saya kehilangan pendorong yang memotivasi saya untuk menulis. Intinya : saya berhenti. Malas. Titik!

Namun, selama berbulan-bulan itu juga, hampir tiap malam sebelum tidur, ada penyesalan dalam hati kecil saya, mengapa saya tidak mendokumentasikan pengalaman saya hari ini dalam bentuk catatan harian seperti biasa? Bagaimana kalau pengalaman hari ini tidak akan terulang lagi? Bagaimana kalau nanti saya akan menyesal dan penyesalan itu tidak akan terbayarkan dengan apapun? Bagaimana kalau saya akan kehilangan banyak dokumentasi batin yang sebenarnya bisa menjadi bahan refleksi untuk kemajuan pelayanan dimasa yang akan datang? Ada begitu banyak “bagaimana” yang lain, namun penyesalan tetap tinggal penyesalan, dan itu tidak cukup kuat untuk mendorong saya memulai lagi, dan itu lebih berkuasa dibandingkan bisikan-bisikan kecil dalam hati yang sering menggelitik mengingatkan bahwa saya tidak pernah boleh berhenti. Walaupun sejujurnya, setiap kali menulis, selalu saja, selalu, saya mengalami kebimbangan, antara menulis dengan kejujuran dan apa adanya dengan risiko dari keterbukaan dalam menulis dan menorehkan sesuatu dalam tulisan, karena seperti kata banyak para penulis, pena bisa menjadi pedang yang memberi pembelaan diri tapi bisa juga sekaligus menjadi senjata yang mengiris tangan yang menghunusnya. Karena itu dalam pergumulan yang berat saya menuliskan pergumulan ini, tentunya dengan hati-hati.

Saya sedang kecewa. Ketidakmampuan saya menerima kekecewaan itu, saya tumpahkan dengan kemarahan: tidak mau menulis! Saya tahu, sadar sesadar-sadarnya bahwa tindakan ini akan sangat merugikan diri sendiri. Hampir 3 bulan saya berdiri di barisan orang-orang yang kecewa itu- sekarangpun masih, cuma sekarang dengan sedikit penerimaan, sambil ingin menata ulang kembali, karena itu saya memulai lagi dengan menorehkan story itu disini. Kalau dipikir-pikir kembali, ada rasa lucu juga, saya bukan hanya tidak terima, marah tapi juga ngambek. Kecewa itu ternyata begitu besar, karena harapan saya tadinya begitu besar. Dulu, saya pernah wanti-wanti kepada diri sendiri, jangan terlalu berharap, nanti kecewa, tapi hati ini sering kali tidak bisa diajak kompromi, dia tetap saja berharap, berharap dan berharap. Sampai akhirnya saya tahu bahwa saya tidak mendapatkan apa yang saya harapkan. Detik itu: dunia seperti runtuh. Apakah saya menangis? Tidak! Saya tidak menangis, tapi perasaan ini begitu kacau. Beberapa waktu kemudian, saya weeping, ya itu kata yang cocok untuk menggambarkan keadaan dan kondisi hati saya, suasana hati sering kelabu. Kadang-kadang juga merasa seperti berada dalam kabut kebingungan, dan tidak jarang seperti merasa hanya mampu melihat dalam gelap. Semua teori yang mengatakan bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda; jangan berhenti maju terus, segala sesuatu indah pada waktu-Nya, mungkin Tuhan mempunyai rencana yang lebih baik, semua hanya selintas lewat tapi tidak mampu membuat saya deal dengan kondisi saya saat itu.

Now? I guess, weeping time is over. After struggling a lot with a lot of things, I decide to begin again, mulai menulis dengan mengawalinya dengan kisah ini.

Sesungguhnya dengan curiga, kadang-kadang dalam hati kecil, saya bertanya apakah orang lain menghadapi pergumulan-pergumulan seperti ini? Apakah mereka mengalami derajat kekecewaan seperti saya tetapi lebih mampu menutupinya? Pernahkah orang-orang yang juga mengaku mencintai dan mengasihi Tuhan mempertanyakan akan kebaikan-Nya? Meragukan rencana-Nya? Saya pernah, tidak tahu dengan anda.

May 20, 2009

3 Feb 2009

New journey, new adventure!

Saya mencium bau udara yang panas, seperti yang sudah banyak saya dengar dari banyak orang ketika seminggu lalu sampai di Makassar. Untungnya tidak lama kemudian hujan turun. Tetapi sudah seminggu hujan tidak berhenti, hampir tiap hari. Perasaan jadi gloomy. Morose!

Hampir tiap hari ingat tempat yang dulu, kisah manis dan sedih yang tergores dalam lembaran dan wacana hidup selama beberapa tahun disana satu persatu terekam ulang. Berhari-hari dilanda homesick. Ternyata selama ini banyak sekali stories, sebagian menjadi cerita yang untold, begitu kompleks. Sebagai seorang yang idealis, saya melihat kisah-kisah itu rasanya beberapa tidak indah, berantakan, tidak nyambung. Sampai detik ini saya masih mencoba untuk mencerna interpretasi perkataan seorang yang bernama Harun Yahya, “Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis dan sporadik, namun setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari sebuah desain holistik yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun terjadi karena kebetulan.” Saya percaya memang tidak ada yang kebetulan, even accident itself is not happen accidentally. Tapi bagaimana menyatukan mozaik itu satu persatu?

Now, here I am, in the new place, new adventure, new journey, dan dengan adjustment yang baru. Seperti yang pernah saya catat sebelumnya, dimanapun sebenarnya kita berada, yang penting bukan masalah lokasi atau tempat, tapi masalah iman dan hati kepada Kristus, the direction of life toward Christlikeness. Berusaha untuk menikmati dan merekam setiap pengalaman dengan baik, agar menjadi suatu dokumentasi batin yang setiap saat siap di-review, retrospeksi, dan di re-evaluasi untuk hikmat dan kebijaksanaan dalam kehidupan, seumur hidup. Berharap dalam kepingan-kepingan pengalaman, bisa bertemu mutiara di dalam lumpur.

19 Jan 2009

Kata-Kata Terakhir


Pengkhotbah pernah berkata, “ada waktu buat segala sesuatu.” Ada waktu dimana hujan dan kemarau datang, ada waktu dimana langit begitu kelam dan kelabu, namun ada waktu dimana langit itu menjadi biru. Apa yang kita alami seperti dikomando oleh yang namanya waktu dan perubahan itu kadang-kadang tidak bisa ditawar-tawar, apapun usaha dan kemampuan kita, ada beberapa keadaan yang tidak bisa kita kuasai, yang kita mampu lakukan mungkin hanya tertawa dan menangis.

Finally, after so many struggling, pergumulan yang sering membawa kepada padang gurun yang begitu kering sampai rasanya berada di lembah bayang-bayang maut, akhirnya saya memutuskan untuk melangkah, langkah yang sebenarnya berat, berat karena meninggalkan segala sesuatu yang selama ini sudah begitu familiar. Ada perasaan ragu, sedih, kehilangan sekaligus exciting on the same time. Rasa itu nano-nano saya rasakan ketika makan terakhir (perjamuan terakhir_itu istilah yang digunakan oleh Nicholas) dengan beberapa rekan yang selama ini bersama-sama di dalam pelayanan. Saya menjadi gagu dan tidak tahu harus berkata apa, selain thanks buat semuanya.

Shakespeare selalu benar ketika ia berkata antara ada dan tiada, ketika sampai kepada kesadaran keberadaan, kita sadar bahwa ada waktu dimana menjadi tiada. Tanpa memungkiri dan mengada-ada, saya baru benar-benar menghargai arti kehadiran orang-orang yang ada disekeliling saya, sahabat-sahabat dan rekan pelayanan, ketika sadar bahwa sebentar lagi mereka tidak lagi bersama-sama dengan saya.

Tapi akhir dari semua, sebagai orang yang percaya kepada Kristus seharusnya yang penting bukan masalah tempat dan jarak, juga bukan masalah lokasi, tetapi yang penting adalah masalah iman, visi dan hati yang sama yaitu kepada Kristus dan keinginan untuk melayani dan menyenangkan hati-Nya, itu saja.

14 Jan 2009

Panah cinta dan kebencian dari Eros

Dalam mitologi Yunani pernah dikisahkan, Eros sang dewa Cinta, anak dari Aphrodite, karena direndahkan oleh Apollo, memutuskan untuk memberi pelajaran kepada Apollo dengan mengambil dua anak panah yang berbeda, yang akan dia panahkan kepada Apollo yang mendatangkan cinta, yang lainnya panah yang mendatangkan kebencian kepada peri Daphne.
Ketika panah dari Eros menembus jantung Apollo, seketika ia jatuh cinta kepada Daphne dan berusaha untuk mendapatkannya, tetapi Daphne yang telah ditembus panah benci dari Eros menolak semua yang dilakukan oleh Apollo dan malah benci kepadanya. Akhir dari cerita itu, Daphne kemudian meminta kepada ayahnya yang bernama Paneus, sang dewa Sungai untuk menjadikannya menjadi sebatang pohon untuk menghindari Apollo dan karena tidak tahan dari rayuan sang dewa Apollo. Ketika menyaksikan semua itu, Apollo sangat sedih dan hanya bisa menangis meratapi sang peri. Cintanya bertepuk sebelah tangan.

Cerita dari mitologi Yunani ini mengingatkan saya kepada perasaan cinta dan benci yang kadang-kadang bercokol dalam hati saya. Saya kadang-kadang merasa, tanpa ampun karena natur yang berdosa, hati ini suram dan muram seperti kuburan, terlalu lemah untuk mampu mencintai orang lain. Di dalam sikap dan kata-kata ketika mengatakan mencintai orang lainpun sebenarnya sering mendapati sebenarnya tidak sedang mencintai, faktanya saya sebenarnya sedang melakukan sesuatu untuk diri. Saya sering melihat seseorang yang berkata, “aku cinta padamu,” namun apakah cinta yang ia maksudkan? Tidak jarang yang dimaksudkan adalah ikatan dan usaha untuk memenuhi apa yang namanya kebutuhan pribadinya. Maka jangan heran sebenarnya relasi pada umumnya manipulatif, penuh dengan keinginan untuk menjadikan dia seperti yang di mau (tidak jarang dengan notabene kata-kata supaya dia menjadi lebih baik) yang sebenarnya berujung pada kesenangan diri, menuntut dia supaya menjadi ini dan itu. Bahkan ketika memberi pun, kadang-kadang memberi dengan suatu tuntutan supaya dia akan memberi balik. Tidak heran ketika “objek” dari cinta itu pergi atau dia tidak menjadi seperti yang diinginkan, yang ada hanya marah dan terluka. Jadi apakah itu cinta namanya?

Dari cerita di atas, saya sangat bersyukur kepada dua hal:
Pertama, cinta atau benci yang ada di dalam hati kita tentu saja bukan karena sang dewa Eros memanah jantung kita either itu panah cinta atau sebaliknya. Saya tidak bisa membayangkan, kalau semua itu tergantung kepada sang Eros, maka dengan sikap dewa-dewa di dalam mitologi Yunani itu yang seringkali begitu kekanak-kanakkan karena mereka bisa saja melakukan hal-hal tertentu karena alasan-alasan yang juga kekanak-kananakkan, maka kita akan ditimpa yang namanya “tidak berdaya” terhadap mereka yang sebenarnya naturnya sama saja dengan kita. Hati kita yang suram dan muram seperti kuburan sesungguhnya adalah karena dosa yang ada di dalam diri kita yang menempatkan kita secara langsung sebagai hamba dari dosa, sehingga tidak ada yang namanya baik dalam diri kita. Maka untuk membebaskan kita dari hal tersebut kita butuh kekuatan yang tidak berasal dari diri kita.
Kedua, di dalam sejarah, kita melihat bahwa hanya ada satu cara pembebasan terhadap ikatan hamba dosa itu yaitu sang Kristus yang memperkenalkan kepada kita apa artinya kasih yang sesungguhnya : the unconditional love. Hati kita yang keras, yang buram seperti kegelapan malam, dilembutkan, diterangi dan kita diberi pengalaman apa artinya dicintai yang sesungguhnya. Pengalaman mengalami the the unconditional love itu membuat kita mengerti apa artinya cinta yang sesungguhnya. Dan dengan bekal pengalaman itu, kita bisa mengerti dan belajar mencintai orang lain. Itulah mengapa di luar dari Kristus tidak mungkin manusia bisa mengerti apa yang namanya cinta yang sesungguhnya itu. Pernahkah anda merasa begitu beruntung? Beruntung bisa bertemu denganNya karena mendapati bahwa kita telah didapati dan ditemui dan dicintai olehNya?

9 Jan 2009

Pertanyaan Yang Merisaukan

Selama setahun belakangan ini, ada pertanyaan yang selalu merisaukan ketika orang lontarkan kepada saya, “apa yang sedang kamu lakukan?” atau “sekarang sibuk apa?.” Saya selalu merasa tidak nyaman dan risau ketika pertanyaan itu ditanyakan, karena saya merasa pertanyaan itu menelanjangi eksistensi saya sebagai manusia dimana didalamnya merekat erat panggilan, tujuan dan pertanggungjawaban hidup. Selama ini tentu saja saya selalu berhasil lolos dengan memberi jawaban-jawaban yang ntah orang yang bertanya sadar atau tidak sesungguhnya adalah sebuah jawaban yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan apa yang mereka tanyakan, sebuah jawaban yang menguburkan kata yang harusnya begitu penting dibalik kata-kata superficial.

Saya sadar sungguh ketika menulis ini, seperti kata banyak para penulis, pena bisa menjadi pedang yang memberi pembelaan diri tapi bisa juga sekaligus menjadi senjata yang mengiris tangan yang menghunusnya, karena itu dalam pergumulan yang berat saya menuliskan pergumulan ini, dengan hati-hati.

“Apa yang sedang saya lakukan?” Setelah berbulan-bulan dengan berbagai defense yang saya pakai, tidak jarang juga berusaha berlari dan kadang-kadang terengah-engah karena terlalu lama dan lelah, saya sampai pada suatu titik yang diawali dengan kesadaran “saya tidak tahu,” yang membawa saya kepada pemikiran “mungkinkah saya sedang tersesat?” Saya tidak tahu apakah anda cukup mengerti apa yang saya maksudkan, tetapi pertanyaan dan jawaban itu menyangkut sesuatu yang paling mendasar dalam hidup: mengapa saya ada? Dan sebenarnya sang Pencipta menginginkan saya menjadi apa?

Dengan sedikit kecurigaan saya berpikir bahwa anda mungkin berpikir, “Ha? Apakah mungkin dia tersesat? Masakan pertanyaan yang seharusnya begitu mudah apalagi dengan latar belakarang teologisnya dia tidak bisa jawab?” dan kemudian anda berkata, “kasian sekali dia.”

Ya, mungkin saya perlu dikasihani, tetapi mungkin juga semua kita ini sesungguhnya adalah orang yang perlu dikasihani. Saya sering memperhatikan pemandangan yang kadang-kadang begitu fenomenal tentang seseorang yang kelihatan begitu yakin, yakin bahwa dia benar, yakin bahwa apa yang ia lakukan adalah kebenaran, tidak sedikit menjadi ekstrim karena menganggap semua orang salah dalam jalurnya. Beberapa waktu yang lalu, saya sangat tersentak ketika sahabat saya mengatakan bahwa seseorang yang kelihatan begitu rohani sesungguhnya bisa menjadi begitu manipulatif. Kelihatannya apa yang dilakukan, dikerjakan adalah benar, tetapi sebenarnya semua itu menyangkut konflik kepentingan pribadi/golongan yang mengatasnamakan kebenaran, keinginan meraih popularitas, keinginan untuk mendapatkan dukungan, pujian, dan usaha untuk mempertahankan supaya diri tetap exist (sebab bagaimana jadinya kalau diri sudah tidak bisa lagi exist?). Ravi Zacharias pernah berkata, “Banyak dari apa yang dianggap pesan Kristen hanyalah tidak lebih daripada busa sabun yang menggunakan nama Allah-tanpa akal sehat dan tanpa mempertimbangkan orang lain, dan caranya mengekploitasi orang lain, tidak menunjukkan perasaan.” Apakah saya demikian? Anda?

Poin dari tulisan saya ini adalah apakah saya selama ini sudah cukup jujur dalam mengenal dan menjawab pertanyaan yang paling mendasar dalam hidup ini atau malah lebih sering menyembunyikan pergumulan yang demikian di balik tedeng aling-aling bahasa-bahasa rohani, termasuk argumen filsafat yang ramai diembel-embeli kata-kata yang membingungkan supaya berkesan hebat, daripada mengakui kepedihan saya, kebingungan dan keragu-raguan, termasuk kebutuhan-kebutuhan yang terdalam dalam pasar kehidupan ini. Berhentilah menyemburkan kata-kata yang arogan dengan gaya yang maha tahu dan jawablah dengan jujur, “Apakah yang sedang anda lakukan?”

8 Jan 2009

The age of narcissistic, the age of hypocrite!

Beberapa bulan terakhir ini sebuah fenomena terjadi diseluruh pelosok Indonesia, mulai dari kota, sampai desa, sawah, rumah, jalan-jalan tikus, termasuk dibawah jembatan sekalipun, setiap mata memandang rasanya tidak ada pelosok, tidak ada tempat, dimana kita tidak melihat baliho, poster, spanduk foto manusia yang dipajang rata-rata dengan ukuran close-up disertai dengan logo. Foto dan logo apalagi kalau bukan caleg dan mereka-mereka yang pengen menjadi presiden di negri ini. Masih untung kalau fotonya cakep (walaupun kata “cakep” tidak bisa menjadi pembenaran bahwa foto itu boleh ada dimana-mana), tapi kalau muka pas-pas an apalagi mendekati tampang preman cuma bedanya berdasi dan pakai jas saja, foto-foto tersebut bukannya menimbulkan kesan positif tetapi malah bikin eneg bahkan cenderung meneror. Meneror? Iya lah, sepanjang mata memandang, yang dilihat oleh mata tiada lain dan tiada bukan: foto-foto caleg. Syukur-syukur kaga kebawa mimpi buruk saking terlalu sering ngeliat fotonya. Cape deh…!

Saya sangat terkesan dengan sebuah spanduk yang dipasang di depan pagar Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta yang dimuat di kompas beberapa hari yang lalu yang bertuliskan : ”JANGAN KOTORI KAMI…!!! CUKUP KALIAN YANG KOTOR. Area bebas caleg & capres.” Sebuah spanduk yang menolak keberadaan poster, spanduk dan baliho iklan caleg, partai politik dan capres. Spanduk itu dipasang oleh masyarakat yang mulai terganggu dengan pemasangan spanduk caleg dan parpol yang sering mengotori dan merusak estetika kota.

Ada apa dengan para caleg? Dan ada apa dengan baliho, spanduk dan poster?
Sebenarnya sah-sah saja sih pasang baliho dkk, cuma apakah image yang mereka tampilkan adalah diri mereka yang sebenarnya? Jangan-jangan semuanya hanyalah sikap narsisisme diri para caleg, yang butuh popularitas karena memang belum populer. Baliho dkk sama sekali tidak bisa menjadi standar bahwa mereka patut menjadi caleg/capres dan membuktikan bahwa memang mereka adalah orang yang benar-benar memperjuangkan suara rakyat seperti kata-kata manis yang mereka tulis dan ucapkan.

Sebagai perbandingan, lihat saja tingkah para Dewan dalam enam bulan terakhir ini yang mengalami penurunan kinerja yang drastis. Desember lalu, jumlah anggota yang tidak hadir tanpa keterangan dalam sidang paripurna terus meningkat, terakhir dicatat 118 orang. Sampai-sampai Rapat Panitia Kerja RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus dibatalkan berkali-kali karena gagal kuorum. Kemana mereka? Kemana lagi kalau bukan all out memperebutkan suara. Hal ini dicatat kompas hari ini. Ckckck…! Ternyata lebih penting untuk berjuang mempertahankan supaya tetap duduk di kursi Dewan daripada memikirkan RUU dimana nasib seluruh rakyat sedang dipertaruhkan (Maka jangan gampang percaya kalau banyak caleg mengatakan ia sedang berjuang untuk kepentingan bangsa!). Atau lihat aja situs yang menampilkan profil para caleg di http://www.calegindonesia.com/ dan lihatlah video yang juga ada disana, jangan berharap bisa melihat misalnya para caleg yang sedang berpidato yang katakanlah sekedar menampilkan gaya public speaking mereka atau pesan mereka, karena yang ada hanya visi misi dan keinginan memajukan perekonomian dll. Basi!

Maka dari hal ini, mari kita jangan lupa membedakan antara caleg yang narsis yang butuh popularitas untuk mendapatkan kedudukan plus janji-janji manisnya dengan mereka yang sebenarnya adalah orang-orang terbaik yang paham menyusun anggaran publik, bisa berkontribusi dalam penyusunan undang-undang dan memiliki kemampuan mengawasi jalannya pemerintahan. Tapi mungkinkah kita bisa membedakannya? Bisa-bisa saya benar-benar akan menjadi golput tahun ini, saking pesimisnya melihat yang sedang terjadi, dan saking tidak bisa lagi membedakan mana yang hypocrite dan narsis dengan mereka yang benar-benar layak menjadi pemimpin. Uh!

28 Nov 2008

Dia(Lo)Gue

Teresa Avila: “God, I do not love You, I do not want to love You, but I want to want to love You.”

Aku: “Tuhan, aku bahkan tidak ingin agar aku ingin mengasihiMu. Aku tidak menemukan alasan mengapa setidaknya aku ingin agar aku ingin mengasihiMu. Aku terseok-seok putus asa, memohon, tapi mengapa sepertinya Engkau tidak peduli? Aku makin merasa tidak berdaya, dan merasa kita seperti bermusuhan. Aku ingin membenciMu”

Tuhan: “Anakku, aku mengasihimu.”

Aku: “Tuhan aku tidak mengerti, kasihMu itu sangat asing bagiku. Apakah aku harus tetap mempercayaiMu? Banyak orang saya dengar tetap mempercayaiMu meskipun Engkau tidak bisa dimengerti”

Philip Yancey: “salah satu alasan terkuat mengapa saya tetap bertahan adalah karena tidak adanya alternatif yang lebih baik, yang banyak diantaranya sudah saya coba. Tuhan kepada siapakah aku akan pergi?”

Aku: “Tuhan ini tidak fair!”

Tuhan: “Anakku, Aku tahu engkau tidak mengerti. Percaya saja.”

Bertrand Russell: “Itulah mengapa aku memilih menjadi ateis, Ia tidak memberi saya cukup banyak bukti untuk percaya.”

Aku terdiam. Duduk. Lemas. Tidak berdaya. Namun samar-samar aku melihat gambaran Abraham yang mendaki bukit dengan putranya di Moria, Ayub menggaruk-garuk bisulnya di bawah matahari terik, Daud bersembunyi dalam gua, Elia putus asa di padang gurun, Musa yang minta diberi tugas yang lain saja _ mereka semuanya sedang menghadapi musim kering panjang, doa-doa genting mereka seperti terpental kembali ke bumi, Tuhan bukan hanya tampak tidak terlihat, tetapi sepertinya sama sekali tidak ada, semua janji-Nya seperti tinggal kebohongan belaka. Namun… namun… pada akhirnya, semua memilih jalan percaya. Dalam hati aku bertanya, “mengapa?”
Aku membaca di dalam Mazmur, Daud dan para penyair lainnya menoleh ke belakang pada masa-masa lalu, ketika Tuhan tampak tidak berdaya, namun ntah bagaimana mereka bisa menang, ketika kepercayaan tampak bodoh namun terbukti bijaksana.

Aku kembali termenung. Para pahlawan iman itu tetap percaya, memutuskan untuk berjalan, walaupun tidak bisa melihat akhir ceritanya, bahkan kadang-kadang tidak bisa melihat langkah selanjutnya, dan mereka mengulurkan tangan pada Penuntun yang tidak terlihat itu.

Kemudian aku membaca pengakuan Tomas yang selalu ragu-ragu berkata “Aku percaya, tolonglah aku yang tidak percaya ini!”

Kemudian aku hanya bisa berbisik pada diri, “Tuhan, ajarlah aku belajar percaya, ajar aku belajar untuk ingin agar aku ingin mengasihiMu”

(My struggling on facing my doubt and love to God in this wilderness life)