14 Jan 2009

Panah cinta dan kebencian dari Eros

Dalam mitologi Yunani pernah dikisahkan, Eros sang dewa Cinta, anak dari Aphrodite, karena direndahkan oleh Apollo, memutuskan untuk memberi pelajaran kepada Apollo dengan mengambil dua anak panah yang berbeda, yang akan dia panahkan kepada Apollo yang mendatangkan cinta, yang lainnya panah yang mendatangkan kebencian kepada peri Daphne.
Ketika panah dari Eros menembus jantung Apollo, seketika ia jatuh cinta kepada Daphne dan berusaha untuk mendapatkannya, tetapi Daphne yang telah ditembus panah benci dari Eros menolak semua yang dilakukan oleh Apollo dan malah benci kepadanya. Akhir dari cerita itu, Daphne kemudian meminta kepada ayahnya yang bernama Paneus, sang dewa Sungai untuk menjadikannya menjadi sebatang pohon untuk menghindari Apollo dan karena tidak tahan dari rayuan sang dewa Apollo. Ketika menyaksikan semua itu, Apollo sangat sedih dan hanya bisa menangis meratapi sang peri. Cintanya bertepuk sebelah tangan.

Cerita dari mitologi Yunani ini mengingatkan saya kepada perasaan cinta dan benci yang kadang-kadang bercokol dalam hati saya. Saya kadang-kadang merasa, tanpa ampun karena natur yang berdosa, hati ini suram dan muram seperti kuburan, terlalu lemah untuk mampu mencintai orang lain. Di dalam sikap dan kata-kata ketika mengatakan mencintai orang lainpun sebenarnya sering mendapati sebenarnya tidak sedang mencintai, faktanya saya sebenarnya sedang melakukan sesuatu untuk diri. Saya sering melihat seseorang yang berkata, “aku cinta padamu,” namun apakah cinta yang ia maksudkan? Tidak jarang yang dimaksudkan adalah ikatan dan usaha untuk memenuhi apa yang namanya kebutuhan pribadinya. Maka jangan heran sebenarnya relasi pada umumnya manipulatif, penuh dengan keinginan untuk menjadikan dia seperti yang di mau (tidak jarang dengan notabene kata-kata supaya dia menjadi lebih baik) yang sebenarnya berujung pada kesenangan diri, menuntut dia supaya menjadi ini dan itu. Bahkan ketika memberi pun, kadang-kadang memberi dengan suatu tuntutan supaya dia akan memberi balik. Tidak heran ketika “objek” dari cinta itu pergi atau dia tidak menjadi seperti yang diinginkan, yang ada hanya marah dan terluka. Jadi apakah itu cinta namanya?

Dari cerita di atas, saya sangat bersyukur kepada dua hal:
Pertama, cinta atau benci yang ada di dalam hati kita tentu saja bukan karena sang dewa Eros memanah jantung kita either itu panah cinta atau sebaliknya. Saya tidak bisa membayangkan, kalau semua itu tergantung kepada sang Eros, maka dengan sikap dewa-dewa di dalam mitologi Yunani itu yang seringkali begitu kekanak-kanakkan karena mereka bisa saja melakukan hal-hal tertentu karena alasan-alasan yang juga kekanak-kananakkan, maka kita akan ditimpa yang namanya “tidak berdaya” terhadap mereka yang sebenarnya naturnya sama saja dengan kita. Hati kita yang suram dan muram seperti kuburan sesungguhnya adalah karena dosa yang ada di dalam diri kita yang menempatkan kita secara langsung sebagai hamba dari dosa, sehingga tidak ada yang namanya baik dalam diri kita. Maka untuk membebaskan kita dari hal tersebut kita butuh kekuatan yang tidak berasal dari diri kita.
Kedua, di dalam sejarah, kita melihat bahwa hanya ada satu cara pembebasan terhadap ikatan hamba dosa itu yaitu sang Kristus yang memperkenalkan kepada kita apa artinya kasih yang sesungguhnya : the unconditional love. Hati kita yang keras, yang buram seperti kegelapan malam, dilembutkan, diterangi dan kita diberi pengalaman apa artinya dicintai yang sesungguhnya. Pengalaman mengalami the the unconditional love itu membuat kita mengerti apa artinya cinta yang sesungguhnya. Dan dengan bekal pengalaman itu, kita bisa mengerti dan belajar mencintai orang lain. Itulah mengapa di luar dari Kristus tidak mungkin manusia bisa mengerti apa yang namanya cinta yang sesungguhnya itu. Pernahkah anda merasa begitu beruntung? Beruntung bisa bertemu denganNya karena mendapati bahwa kita telah didapati dan ditemui dan dicintai olehNya?

1 komentar:

Admin mengatakan...

Salam kenal, Ya'ahowu! Tulisan yang bagus dan menarik sekaligus reflektif....!! Memang di luar Kristus tidak ada yang bisa mencintai tanpa syarat. Namun saya juga yakin rahmat-Nya dapat memampukan manusia untuk itu kendatipun hanya terbatas pada level tertentu. Rahmat dan karuniaNya telah memampukan manusia untuk mencintai tanpa syarat. Masalahnya terletak pada hati/diri manusia itu sendiri. Di sini dibutuhkan suatu 'actus' yang dibalut oleh iman, harapan dan kasih.