8 Jan 2009

The age of narcissistic, the age of hypocrite!

Beberapa bulan terakhir ini sebuah fenomena terjadi diseluruh pelosok Indonesia, mulai dari kota, sampai desa, sawah, rumah, jalan-jalan tikus, termasuk dibawah jembatan sekalipun, setiap mata memandang rasanya tidak ada pelosok, tidak ada tempat, dimana kita tidak melihat baliho, poster, spanduk foto manusia yang dipajang rata-rata dengan ukuran close-up disertai dengan logo. Foto dan logo apalagi kalau bukan caleg dan mereka-mereka yang pengen menjadi presiden di negri ini. Masih untung kalau fotonya cakep (walaupun kata “cakep” tidak bisa menjadi pembenaran bahwa foto itu boleh ada dimana-mana), tapi kalau muka pas-pas an apalagi mendekati tampang preman cuma bedanya berdasi dan pakai jas saja, foto-foto tersebut bukannya menimbulkan kesan positif tetapi malah bikin eneg bahkan cenderung meneror. Meneror? Iya lah, sepanjang mata memandang, yang dilihat oleh mata tiada lain dan tiada bukan: foto-foto caleg. Syukur-syukur kaga kebawa mimpi buruk saking terlalu sering ngeliat fotonya. Cape deh…!

Saya sangat terkesan dengan sebuah spanduk yang dipasang di depan pagar Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta yang dimuat di kompas beberapa hari yang lalu yang bertuliskan : ”JANGAN KOTORI KAMI…!!! CUKUP KALIAN YANG KOTOR. Area bebas caleg & capres.” Sebuah spanduk yang menolak keberadaan poster, spanduk dan baliho iklan caleg, partai politik dan capres. Spanduk itu dipasang oleh masyarakat yang mulai terganggu dengan pemasangan spanduk caleg dan parpol yang sering mengotori dan merusak estetika kota.

Ada apa dengan para caleg? Dan ada apa dengan baliho, spanduk dan poster?
Sebenarnya sah-sah saja sih pasang baliho dkk, cuma apakah image yang mereka tampilkan adalah diri mereka yang sebenarnya? Jangan-jangan semuanya hanyalah sikap narsisisme diri para caleg, yang butuh popularitas karena memang belum populer. Baliho dkk sama sekali tidak bisa menjadi standar bahwa mereka patut menjadi caleg/capres dan membuktikan bahwa memang mereka adalah orang yang benar-benar memperjuangkan suara rakyat seperti kata-kata manis yang mereka tulis dan ucapkan.

Sebagai perbandingan, lihat saja tingkah para Dewan dalam enam bulan terakhir ini yang mengalami penurunan kinerja yang drastis. Desember lalu, jumlah anggota yang tidak hadir tanpa keterangan dalam sidang paripurna terus meningkat, terakhir dicatat 118 orang. Sampai-sampai Rapat Panitia Kerja RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus dibatalkan berkali-kali karena gagal kuorum. Kemana mereka? Kemana lagi kalau bukan all out memperebutkan suara. Hal ini dicatat kompas hari ini. Ckckck…! Ternyata lebih penting untuk berjuang mempertahankan supaya tetap duduk di kursi Dewan daripada memikirkan RUU dimana nasib seluruh rakyat sedang dipertaruhkan (Maka jangan gampang percaya kalau banyak caleg mengatakan ia sedang berjuang untuk kepentingan bangsa!). Atau lihat aja situs yang menampilkan profil para caleg di http://www.calegindonesia.com/ dan lihatlah video yang juga ada disana, jangan berharap bisa melihat misalnya para caleg yang sedang berpidato yang katakanlah sekedar menampilkan gaya public speaking mereka atau pesan mereka, karena yang ada hanya visi misi dan keinginan memajukan perekonomian dll. Basi!

Maka dari hal ini, mari kita jangan lupa membedakan antara caleg yang narsis yang butuh popularitas untuk mendapatkan kedudukan plus janji-janji manisnya dengan mereka yang sebenarnya adalah orang-orang terbaik yang paham menyusun anggaran publik, bisa berkontribusi dalam penyusunan undang-undang dan memiliki kemampuan mengawasi jalannya pemerintahan. Tapi mungkinkah kita bisa membedakannya? Bisa-bisa saya benar-benar akan menjadi golput tahun ini, saking pesimisnya melihat yang sedang terjadi, dan saking tidak bisa lagi membedakan mana yang hypocrite dan narsis dengan mereka yang benar-benar layak menjadi pemimpin. Uh!

Tidak ada komentar: