17 Nov 2008

Ingatlah, Berharaplah, Hati-hatilah

Tiga kata di atas adalah pidato perpisahan Musa kepada umat Israel. Namanya juga pidato perpisahan, berarti pidato itu sangat signifikan bagi kehidupan Israel sebagai bangsa dan setiap individu sebagai bagian di dalamnya. Apa yang harus diingat? Dan mengapa harus mengingat?

Mengingat berarti tidak melupakan. Mengingat, salah satu ciri paling mencolok dari Yahudi dan orang Kristen. Berada di dalam dunia dan berada di dalam sejarah adalah mengingat. Banyak hal yang harus diingat: mengingat apa yang sudah dilakukan oleh Tuhan dimasa lalu, mengingat penyertaan-Nya, mengingat bagaimana Ia menyatakan Diri sebagai Allah yang hidup, mengingat bagaimana Ia bekerja di dalam hidup dan sejarah. Tidak heran salah satu pesan Musa kepada Israel dalam Ulangan 6 adalah orangtua harus memperkatakan setiap Firman kepada anak-anak dimana saja, setiap saat, harus berulang-ulang, ketika duduk di rumah, ketika sedang dalam perjalanan, ketika berbaring, ketika bangun. Bukankah itu membosankan? Tidak! Itu perlu dan penting. Supaya mereka tidak lupa.

Kalau kita menyadari natur kita manusia yang pelupa ini, maka kita akan sangat mengerti mengapa Tuhan memberi perintah seperti itu. Kita sering lupa, kita sering menderita amnesia terhadap peristiwa dan perbuatan Tuhan dimasa lalu bahkan sekalipun peristiwa itu belum lama kita alami. Israel adalah gambaran yang sempurna dalam hal ini, dan bukankah kita juga demikian?
“Ingatlah,” “Jangan melupakan,” kita perlu mengenang masa lalu dan bukannya mengingkarinya, karena di dalam masa lalu yang merupakan sejarah kita menemukan Allah. Itulah mengapa kita juga harus ikut perjamuan, untuk mengingatkan supaya kita tidak lupa, karena kita tidak pernah boleh lupa apa yang Ia sudah lakukan bagi kita, terutama kematian-Nya bagi kita. Seorang ahli sejarah pernah berkata bahwa hal yang paling menonjol pada kaum muda saat ini adalah bahwa mereka begitu tidak tahu tentang masa lalu dan saya tidak tahu bagaimana hal ini bisa menjadi keuntungan, tidak bisa memahami keuntungan dari ketiadaan pengetahuan. Mungkin ada benarnya kata-kata itu.

Mengingat berarti tidak melupakan bahwa Allah bekerja di dalam sejarah. Di dalam konteks Israel, mengingat bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi itu adalah Allah yang telah membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Sejarah pekerjaan Allah di masa lalu adalah bagian dari identitas mereka sebagai bangsa pilihan. Melupakan sejarah masa lalu, berarti melupakan identitas mereka. Maka tidak berlebihan ketika seorang profesor sejarah mengatakan bahwa tidak mengetahui sejarah telah mengurangi kemanusiaan manusia, karena sejarah hidup di dalam kita sebagaimana kita hidup di dalam sejarah. Masa lalu adalah bagian dari diri, dan mengingatnya adalah bagian dari pengenalan diri. Mengingat perbuatan-perbuatan Allah dimasa lalu, juga membantu kita untuk melihat bahwa Allah adalah Allah di masa lalu, Ia adalah Allah di masa sekarang dan tentu saja Ia adalah Allah di masa yang akan datang. Karena itu : Ingatlah.

Mengingat berarti mengakui bahwa di dalam sejarah ini, Allah adalah Tuhan dan kita bukan Tuhan. Pengakuan Allah sebagai Tuhan berarti mengakui Dia di dalam segala eksistensi hidup kita_dalam ”segala” bukan hanya “sebagian.” Kalau kita melihat sejarah hidup manusia, terutama di dalam zaman postmodern sekarang ini, maka kita pasti akan sangat mengerti mengapa Musa bicara soal mengingat bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakan manusia. Orang postmodern berkata bahwa manusia adalah standar dan penentu dalam segala sesuatu. Manusia adalah adalah pusat dan bukan Tuhan, kalau bisa Tuhan “ditiadakan.” Nietzche sang filsuf mengatakan bahwa Tuhan sudah mati dan karena Tuhan sudah mati, maka hidup ini tidak ada maknanya. Tapi apakah kita bisa jadi standar? Apakah kita bisa “meniadakan” Tuhan?
Dengan mengingat berarti kita sadar bahwa Ia adalah Tuhan, kita mengakui bahwa kita bukan Tuhan dan karna kita bukan Tuhan maka kita butuh Tuhan di dalam kehidupan kita.

Lalu apa yang harus diharapkan? Kita, sebagaimana Israel harus senantiasa hidup di dalam pengharapan yang teguh bahwa Allah akan setia pada janji-janjiNya untuk memberkati umat-Nya. Memiliki pengharapan adalah sesuatu yang sangat penting di dalam hidup. Apa jadinya kalau seseorang sudah tidak memiliki harapan? Memang resiko berharap adalah kemungkinan mengalami kecewa kalau apa yang diharapkan tidak menjadi kenyataan. Tetapi pengharapan kita kepada Allah adalah berdasarkan janji-janjiNya yang pasti akan ditepati. Itulah mengapa ketika Allah Israel berjanji kepada umat-Nya di dalam PL, tenses yang digunakan adalah tenses yang sudah terjadi padahal apa yang dijanjikan masih belum menjadi kenyataan. Allah ingin menyatakan bahwa bahwa Ia akan menepati setiap apa yang dijanjikanNya. Allah yang berjanji itu adalah Allah yang menepati janji-janjiNya. Henri Nouwen pernah berkata bahwa dengan pengharapan anda melihat tangan Allah yang membimbing, tidak hanya pada saat-saat yang aman dan menyenangkan, tetapi dalam kelamnya kekecewaan dan kegelapan.

Lalu mengapa harus berhati-hati? Selama hidup dalam pengharapan, Israel harus memperhatikan perintah-perintah Allah untuk kebaikan mereka sendiri, tidak boleh menyimpang ke kanan atau ke kiri. Harus berhati-hati terhadap tingkah laku kehidupan setiap hari dan waspada terhadap segala godaan yang akan membawa hati mereka menjauh daripada Allah.

Jadi, sebagai manusia kita perlu mengingat, membawa masa lalu menuju masa kini. Selain itu, sebagai manusia kita perlu menatap ke depan, memiliki pengharapan dan menempatkan impian, kita perlu berharap sementara mengingat dan sepanjang itu kita harus berhati-hati.

Tidak ada komentar: